harusnya aku mengerti
dan kutemui malam. sewaktu senja menghilang perlahan dari balik akalku. memutar langkah pikir tanpa ujung. bergerak. namun diam. menebak letak arah terjauh imajiku
“tak letihkah...?” pikirku
tapi beberapa dari itu masih bernyanyi. tak henti mengalunkan cerita yang terbawa dari langit. tanpa cerca. hingga terhenti pada ranting, ilalang, bahkan bebatuan. mereka masih tetap bernyanyi
tak mampu kubuang arah jejak mataku. nyaman. hening. namun nyanyian itu menggema jauh dalam ruang jiwaku
.
.
.
.
ah...
masih sama
pikiranku terjatuh dalam bimbang
andai titik hujan itu aku
sudah kulepas pandangku kesana
lalu mencoba menepi pada ujung dahan yang bergoyang
kemudian lanjutkan nyanyianku
dan harusnya aku mengerti
(saat aku sadar
tetesan embun telah menghilang dari balik jendela kamarku)
31.1.09
nyanyian hujan
24.1.09
waktu
kau bungkus waktuku dengan renta pijakmu
pada batas akhir titik cahaya
hingga semua kau benamkan dalam patahnya pelukmu
pada batas akhir titik cahaya
hingga semua kau benamkan dalam patahnya pelukmu
jejak
aku temukan seutas senyum terjebak pada sudut bibirmu
yang terpeluk ucap kelu
kala aku menjejak nafas di ujung matamu
yang terpeluk ucap kelu
kala aku menjejak nafas di ujung matamu
10.1.09
patahan hujan
pada rentang kesekian
tanahmu akan kubasuh penuh
dengan peluh yang menjelma hujan
agar kau tahu
dalam tiap pecahan tangis yang terurai
masih ada aku
yang berdiri diatas pejammu
tanahmu akan kubasuh penuh
dengan peluh yang menjelma hujan
agar kau tahu
dalam tiap pecahan tangis yang terurai
masih ada aku
yang berdiri diatas pejammu
tertunduk
sang kirana masih ranum tersenyum
saat gelegak malam penuh mimpi
mengintip di remangremang kota
tapi aku hanya
bersandar pada ranting rapuh di ujung bukit
mengurai nafas pada dekap retak bulan
jejali tipisnya hati yang pernah terkikis
karena mimpi penuh luka
telah aku tanam di bawah mentari tadi senja
saat gelegak malam penuh mimpi
mengintip di remangremang kota
tapi aku hanya
bersandar pada ranting rapuh di ujung bukit
mengurai nafas pada dekap retak bulan
jejali tipisnya hati yang pernah terkikis
karena mimpi penuh luka
telah aku tanam di bawah mentari tadi senja
adalah cinta
pernah aku titipkan seutas peluh pada
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa
dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari
aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita
dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya
maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa
dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari
aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita
dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya
maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang
Subscribe to:
Posts (Atom)