15.12.09

tentang(ku)

tentangku adalah
tentangmu juga

tapi tentangmu?
tak kutemukan aku

hanya sempat
menuliskan pesan di
pojok dinding kamar
ku yang mungkin tak
terbaca oleh

mu


tentang(mu)

dan tentangmu adalah
cerita
yang terbaik

juga tentang perasaan
ku

tapi tentangmu adalah
kenangan


rindu yang mengerat

rindu semakin mengeratku
dalam

pada jarak kesekian dari
entah yang merengut seolah
tak ingin tunjukkan ia ada

dimana?
sedangkan aku masih saja
tenggelam di sini

sayang..
aku tak ingin rindu ini membusuk percuma


datanglah..


8.11.09

pesan #5

telah banyak pesan aku
titipkan pada lembarlembar kertas
usang yang mungkin telah
menjadi tak berharga

juga banyak lelah yang
aku lukis pada barisan awan
hitam yang melekat di pundak
mu

tapi tak sedikitpun pesan itu
kembali padaku disini

atau mungkin ia telah
menjelma menjadi

dirimu?

(awal november 2009)


9.10.09

pesan #3

awal oktober

aku menggores penaku dalam
keremangan. jenuh

entah untuk mencuri waktu atau
hanya mengecup sepi yang lelah aku
kejar.

tapi jarak begitu angkuh
mengurungku dalam resah. tanpa alur.
dan rindu telah menghitamkan nadiku

disini. seperti ucapmu.
aku akan tetap bernafas hingga
saat kita terhenyak

nanti.


24.9.09

pesan #2

aku menggenggam catatan kecil tentang
pesan yang tak lagi terbaca di tanganku

yang padaku telah terhapus semua
cerita tentang aku yang dulu

karena sejauh ini aku hanya mampu
bergumam pada detak nadiku sendiri

lalu..
apa aku tak berhak untuk
memecah takdir di sisa perjalanan

ku?


pesan

di tiap renyah heningku
tak henti aku menjejak nafas dalam

nadimu


limbung

tawa renyah itu perlahan pudar
di bibir
mu

dan entah apa itu sebuah pertanda
untuk
ku?


10.7.09

tonet: tiga

aku hanya meminta sedikit titik lentera.
pada masa yang masih terbawa pengap
antara hujan. dan barisan rapi luka yang semula
perih. dulu. maka katamu itu sudah lengkap.

mungkin masih bisa ku baca catatan kelam
tentang ajakan hati yang tak lagi menjerat.
memisah jarak akan entah. dan menanti hingga malam
tertidur lelap. semua telah kujaga di sini. erat.

sudahlah. tak usah kau merasa lebih puas.
aku telah merelakan nafasmu yang tak menjelma
seperti pelangi lagi. dan memang telah jelas
apa inginku. hanya ingin berdiri di pinggiran senja.

tiga kata yang awalnya memang sempat
tak terucap telah terkunci di mataku. rapat.

22.6.09

(bukan) pangeranmu

aku akan datang. di salahsatu malammu

bukan dengan kuda putih. layaknya pangeranpangeran dalam negeri dongengmu. hanya kuda biasa. yang salah satu kakinya terluka; seperti hatiku. mungkin

aku akan datang. di salahsatu malammu. di bawah langit. pada gumpalan awan penat yang bergelimpangan di tiap tatapku. tunggu saja

akan kukembalikan semua luka. serpihan perih. serta pecahanpecahan nafas yang pernah kau titipkan padaku. tepat. di salahsatu malammu

nanti

dua rerupa

mungkin dalam jarak kesekian entah, letakmu akan berubah. wujud, bahkan letak nafasmupun beda. pada kesah. dalam lelah. tentang kisah?

bahkan untuk mengerti jejakmu, hatiku yang harus bermain dengan jenuh. kadang terang. kadang gelap. dan aku tersesat dalam itu. takkah kau tahu?

atau kadang tak lagi aku bisa mengartikan senyum yang kau titipkan di bibirku. renyah. namun tanpa rasa. dan kau?
hening

kau bukan kau. tapi itu kau. dan kau tak ada dalammu. sedang kau adalah kau

mungkin dalam rerupa kisahmu, aku hanya pangeran kodok. bermata besar. berkaki lebar. berotak dungu. yang harus mengikuti kemauanmu

lagilagi aku terdiam

7.6.09

tentang jiwa yang menjerit karenamu

pernah kau tulis sebuah sajak. tepat di sebalik nafasku yang labil. yang olehmu kau bawa aku memecah matahari. menyeka kesah di tiap bujurnya. tanpa tahu aku menahan perihnya.

pernah kau tulis sebuah sajak. yang dalam peng-aku-anmu, aku bukan aku. terhapus logika. hanya kering matamu yang coba berontak dari hatimu.

pernah kau tulis sebuah sajak. dalam remah luka.

dan aku-
-lelah

buram

ini hanya cerita tentang
a k u
lelaki malam di pembatas cakrawala

yang tak pernah tahu akan aurora
bahkan semburat senja
hanya obrolan yang terdengar di telingaku saja

dan kini mereka
menunjuk duapuluhempat warna pelangi
saat hujan baru saja berpaling


sedang padaku hanya
gradasi buram. hitam-abu-putih

atau aku yang telah
buta?

satu

di sini. di gubuk ini. kita pernah ada. bersama secangkir kopi dan sekotak kecil tiramisu. dengan titiktitik hujan yang serupa embun. menghanyutkan tawa kita. tanpa beban. tanpa lelah. tanpa bosan

tak henti ceritacerita indah coba kau hadirkan di matamu. dari catatancatatan kecil tentangmu, tentang kita, masa depan kita. hingga tak sadar kita larut dalam alunan senja

“aku akan selalu menjejakkan hatiku di hatimu” bisikmu. setidaknya itu sudah cukup bagiku

perlahan pelangi tunjukkan wajahnya. satu fase hujan telah kita lewati. rerumput yang kembali tersenyum. burungburung yang bersenandung. seakan menyambut mentari yang pelanpelan menyapa

hm..
teringat masa itu kembali. dulu. saat kita masih

satu

24.5.09

duapuluhempat

sekiranya warna pelangi masih sama. pekat. masih seperti saat aku mengenalmu.
dulu
dengan pecahanpecahan awan yang mengintip di sebaliknya

bukankah pernah kau janjikan gradasi yang lebih indah? agar bisa kita saingi aurora yang berpendar di ujung kutub sana. yang masih tersenyum sinis. pada langit kita

“itu dulu” katamu

jika lelahku menjadi semakin. haruskah kuletakkan begitu saja di sini? tepat di langkah ke duapuluhempat. karena katamu kini mimpi kita tak bisa sama

kosong

/1/
entah untuk kali keberapa, aku membaca deret kata di dahimu. puluhan. ratusan. bahkan ribuan frase telah terucap dari matamu. dan tak letih bibirmu mengumbar cerita warnawarni.

bagiku itu kosong.

/2/
bahkan harga doktrinmu, tak ternilai (setidaknya itu katamu). yang pernah kau titipkan pada selembar kertas buram; saat senja baru saja tersenyum untuk terakhir kalinya.

bagiku tetap kosong.

/3/
di penghujung nafasmu, hingga wujudmu kini yang berbalut kasa tipis; aku masih menyimpan elegi yang kau titipkan dulu. dan aku masih bisa membaca; betapa labilnya nafasmu saat itu.

masihkah kosong?

ah...
andai aku bisa membalikkan waktu


10.5.09

lepas

di kelopak matamu kutemukan
-hitam
menggenang pada bejana yang kau cipta

embun yang kutafsir dulu hanya pecahan ilusi yang muncul pada remah mimpi kita

tertahan sejenak-

:lepaskan saja

pecah

masih ingatkah kau saat telingaku menderit. menjelma cemas yang tertahan di sudut kepala. saat katakata berubah seolah pisau yang menikam. hingga lidahmu meradang

masih ingatkah kau saat tanganku melepuh. dengan jemari yang tak mampu menggenggam bejana; yang sebelumnya kau tuang angkuhmu tanpa peduli lelah yang aku bawa

masih ingatkah kau saat mataku menjerit. menahan hujaman cerca. tak henti matamu bergelayut sinis pada mataku

masihkah?

ah…
yang kini tak kau tahu
mataku terjatuh bersama
butiranbutiran penat yang

kemudian pecah

3 stanza: sajak perawan senja

/I/
mari diamdiam mendengarkannya. reranting yang jatuh pada tanah. yang pada malam sebelumnya; ia menangis. menyimpan lenguh rindu pada embun. dan terpejam di heningnya purnama

/II/
ia;
yang menjelma sajak perawan. mengeja kata menentang rasa. menakar rerintik bebait dalam hening. pelanpelan merangkai setiap gerak nalar. memanggilmanggil masa depan dalam beribu kerinduan

ia;
merebus detakdetak kenangan. menyulam dahaga sewaktu senja. selalu bersenandung di remang cuaca. tentang beda. tentang cinta. juga lelembut bahasa yang menarinari di detak rima

/III/
ia;
tak seruparupa kekal senyawa. memikul waktu mengiris sentuh. mengakar rapuh di lapis subur. memilah pundipundi duniawi pembeban tubuh. melepas mimpi selaras hitam putih karma

ia;
hanya serupa malaikat dalam terik bulan. pencerah redup di tengah maya. menyulam nadi mengecup retak. dengan nafas; sebelum gelap tiba kembali

adalah ia;
perawan senja penyulap masa
(mari diamdiam mendengarkannya. reranting yang jatuh pada tanah)


perlahan

dekap aku
lumerkan perih yang menggenangi tiap ruasruas hati
agar detakmu bisa kurasa

:perlahan

8.3.09

pada langitmu

/I/
langit berubah jelaga
pendarnya merengut pada ujung ilalang

atau ia hanya bungkam
membisu dari diamnya

/II/
matamu berbisik tajam
entah dengan lidah yang gelisah

atau nafsu tanpa nyali
yang kau sembunyikan di balik takutmu?

/III/
pada jenuh aku bersumpah
mataku tak akan lekang pada langitmu

muak

mata itu..
hanya muslihat
hanya menjilat pada saat dan waktu yang tak tepat

sedang tak kau tahu
aku
:muak

23.2.09

dalam rinduku

:hari ini
ingin kutulis berlembarlembar rindu untukmu
pada buramnya langit yang tertutup awan mendung
dan dalam gerimis yang menghantarkan cercau burung pada senyap
atau dalam genangan hujan malam tadi

ingin kusulam sebuah rindu untukmu
pada rantingranting yang masih menitikkan tarian embun
tepat di ujung ilalang yang merunduk malu
atau di sesisa pelangi penghujan malam tadi

ingin kutanam sebuah rindu untukmu
pada rapuhnya langkahku saat ini
pada sudut matamu yang tergambar jelas di tiap celah hati

bahwa aku
benarbenar merindukanmu saat ini..

apa dirimu merasakan yang sama?

aku harap..

hening

aku lelah
pada masa yg memerah
menjamah sekian waktu
tapi tetap kaku

sisi lemahku terumbar
tak pantas untuk
menyeka tiaptiap lembar
yang bosan selalu mengetuk

terpecah imaji

pergi!
pergi!
pergi!
pergi!
pergi!

PERGI!!!

...kawan
tak sadarkah
aku hanya ingin


:hening

tentang semalam

ini mataku..
lelah mengakar airmata


dan ini tanganku
tak lepas dari matamu
menangkup untuk menjerang tangismu

apa salah?
merobek rahim ibu
tatap sedikit kebenaran
pada realita yang mungkin buram


tak ada yang salah
pun tanpa sebelah kakimu yang tergelincir
matamu tetap tegar

tapi mereka..
menatap nyinyir pada retak resahku
mencibir tiap lekuk lukaku
seolah aku tak punya rupa
(yang bahkan lebih hina dari kotoran mereka)


sebegitu rendahkah kau menilai dirimu?
letak lakumu tak pernah seperti itu
- setidaknya di mataku

ah..
kau tak mengerti kawan
sekelumit hatiku berupa debu


takkah kau sadar dulu..
pernah kau titipkan sisa harumu
pada trotoar yang membisu
padahal tak kau tahu
aku di belakangmu
berharap coba kau titipkan selembar pedih di pundakku
bersama cemas yang semakin menua di ujung waktu
(dan akupun punya banyak waktu untuk itu)

sudahlah..
mari kita duduk
dan akan kusuguhkan kopi hitam kesukaanmu
bersama ceritacerita yang masih tertahan
(karena aku punya banyak waktu untuk itu)

tercatat terpisah pada ujung cemas

31.1.09

nyanyian hujan

harusnya aku mengerti

dan kutemui malam. sewaktu senja menghilang perlahan dari balik akalku. memutar langkah pikir tanpa ujung. bergerak. namun diam. menebak letak arah terjauh imajiku

“tak letihkah...?” pikirku

tapi beberapa dari itu masih bernyanyi. tak henti mengalunkan cerita yang terbawa dari langit. tanpa cerca. hingga terhenti pada ranting, ilalang, bahkan bebatuan. mereka masih tetap bernyanyi

tak mampu kubuang arah jejak mataku. nyaman. hening. namun nyanyian itu menggema jauh dalam ruang jiwaku

.
.
.
.

ah...
masih sama
pikiranku terjatuh dalam bimbang


andai titik hujan itu aku
sudah kulepas pandangku kesana
lalu mencoba menepi pada ujung dahan yang bergoyang
kemudian lanjutkan nyanyianku

dan harusnya aku mengerti

(saat aku sadar
tetesan embun telah menghilang dari balik jendela kamarku)

24.1.09

waktu

kau bungkus waktuku dengan renta pijakmu
pada batas akhir titik cahaya

hingga semua kau benamkan dalam patahnya pelukmu

jejak

aku temukan seutas senyum terjebak pada sudut bibirmu
yang terpeluk ucap kelu

kala aku menjejak nafas di ujung matamu

10.1.09

patahan hujan

pada rentang kesekian
tanahmu akan kubasuh penuh
dengan peluh yang menjelma hujan

agar kau tahu
dalam tiap pecahan tangis yang terurai
masih ada aku
yang berdiri diatas pejammu

tertunduk

sang kirana masih ranum tersenyum
saat gelegak malam penuh mimpi
mengintip di remangremang kota

tapi aku hanya
bersandar pada ranting rapuh di ujung bukit
mengurai nafas pada dekap retak bulan
jejali tipisnya hati yang pernah terkikis

karena mimpi penuh luka
telah aku tanam di bawah mentari tadi senja


adalah cinta

pernah aku titipkan seutas peluh pada
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa

dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari

aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita

dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya


maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang