10.1.09

patahan hujan

pada rentang kesekian
tanahmu akan kubasuh penuh
dengan peluh yang menjelma hujan

agar kau tahu
dalam tiap pecahan tangis yang terurai
masih ada aku
yang berdiri diatas pejammu

tertunduk

sang kirana masih ranum tersenyum
saat gelegak malam penuh mimpi
mengintip di remangremang kota

tapi aku hanya
bersandar pada ranting rapuh di ujung bukit
mengurai nafas pada dekap retak bulan
jejali tipisnya hati yang pernah terkikis

karena mimpi penuh luka
telah aku tanam di bawah mentari tadi senja


adalah cinta

pernah aku titipkan seutas peluh pada
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa

dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari

aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita

dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya


maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang