31.12.08

jika pada waktunya

terlelap dalam kotak kaca berpeluh embun

alif
awal
tarian mentari
menetas di keremangan pagi
berharap cerita dalam tatapan harihari

dan isakan tangis manja
tertahan
di selasela jari mungil


masih dalam kotak kaca berpeluh embun
lelap pada keheningan malam
patahan bulan
akhir
ya

nafasku telah terhenti sebelum melangkah

30.12.08

teruntuk: mama

mama..
saat tangkup tanganmu memapahku
hanya damai mengalir dengan rasa tulus

peluhmu ukirkan ketegaran
bahkan senyum renta
bersama keriput di lingkar mata
tak jua surutkan jalanmu
hingga dalam jenuh yang meradang
masih saja nafasmu hembuskan cerita indah

maaf..
jika pada setiap langkahku
aku tak pernah hiraukan segala ucapmu
namun tanpa aku berkata
mataku akan selalu berbicara..

aku mencintaimu..

kung

delapan purnama lalu, kung...
kita samasama membingkai langit, melambai pada lentiknya awan, berlompatlompatan dari satu teratai hingga teratai terakhir di ujung danau, kau genggam tangan, tanpa peduli terik matahari; yang perlahan tertunduk pada barisan awan kelam

hingga seluruh bumi tertutup tirai pekat sang awan, dan mulai menghujam dengan titiktitik hujannya; dan kita bersembunyi dibalik teratai ini; tampak wajahmu siratkan kesediahn, tak ada ceria seperti sesaat lalu. seolah menyaingi kelamnya langit di atas sana; dan sekali lagi kung, kau genggam tanganku ini

tibatiba riak yang tenang menjadi tak menentu. genggamanmu terlepas, sisakan sorot mata sayu; yang masih kusimpan hingga kini; dan perlahan luruh bersama aliran air yang membawa ragamu; entah kemana...

...aku masih menanti disini

...kung
apa kita masih ada pada bumi yang sama?

entah...


aku dan duniaku

kelopak senyum yang teruntai rapi dalam deretan bibir langit pada pagi tanpa embun
tak jua hadirkan asa untukku berpikir lagi;
hanya lelah menjelma risau
peluh berpeluh
letih

a
k
u
cemas
cekat terpekat
dan diam meraja dalam igau
hingga waktu berputar kembali dalam harihari
untuk setiap rentetan peristiwa kelam yang jadikan malam tiba tanpa usapan bintang

sehelai rindu terakhir yang mampu kusimpan

sayang...
tak sadarkah rona wajahmu memucat, dan kendikendi rindu perlahan meretak. hingga kau coba hapus jejakjejak pelarian dalam lelah, dengan satu usapan hangat mentari pada sekitar lingkar hati

mencoba jemput kecupan yang kau lukis di bibir, menderu bersama hangat nafas; tanpa nafsu
membaca penat yang tertahan di matamu

jangan tangisi semua ini..
aku akan kembali dalam pelukan hati;
dalam hidup yang tak kau sadari


jemarimu lelah untuk menggenggam hidup; hanya air mata mampu mengantarmu menuju cerita yang tak akan usai disana. yang tertinggal hanya sehelai rindu terakhir untuk aku simpan


sisa rindu malam tadi

dan tangis masih menggema
di sela pikir yang menyempil pada
sekotak ingatan tentang senja

nistakah itu?

kereta terakhir menjemput
pada dentang terakhir hari
tepat di pergantian

senyum itu tak lekang

pagi tiba dengan tertatih
pun hujan membisu
tak terdengar rintihannya

hanya embun yang setia menemani sisasisa rindu malam tadi

rindu mengetuk pagi

inilah rindu

dalam beranda kegamangan
meruwat langkah hitam peraduan hati

bintang tak hadir dalam malam
hanya pucat hujan basahi rekahan pekatnya

kini di ambang harap
waktu bergegas
diam menunggu fajar tersenyum

niscaya di satu sisi
tetap mampu mengetuk pagi


tentang seorang perindu

tatap sayu pada langit pagi ini
mendongak dengan peluh tanpa henti:
dua tahun sudah aku tak menjamahmu

bagaimana kabarmu?

sedang aku hanya termangu disini
menunggu waktu nanti
saat jiwa susul langkah kesana

adakah cara untuk menemuimu saat ini?

dengan roket aku titipkan
selaksa cinta
dan kuharap melayang sempurna menuju peraduanmu disana

sebelum embun mulai menipis

pada purnama
yang terlewat hujan
rantingranting masih bercerita

jika pada tentangnya
kita masih bergelayut:
kecuplah Dia
sebelum embun mulai menipis

pada suatu ketika

hujan tapaki lusuhnya rindu
dalam guratan senyum
yang menipis pada
rintik air terakhir
(embun tercipta)

dibalik kotak kaca ini
rindu dan nafsu tersamar
dalam kata kita bercinta
dalam dekap kita bercerita

mari mencipta senja
sambut kesederhanaan malam
percayakan semua pada rasa

jamah aku saat ini, sayang...

16.12.08

teruntuk: sang masa depanku

sayang...
bukankah rembulan masih tersipu
dan kelunya malam menggugah kita untuk bercerita
tentang pelangi
tentang kesederhanaan langit
yang membawa pada surga kecil kita

rengkuh nafasku dalamdalam
rasakan tiap sisi terindah
dengar hati ini ucap untaian kata:
“aku mencintaimu”

sayang...
biarlah rekahan fajar terbentuk pagi nanti
dengan senyuman penuh sang mentari
dan burungburung bersenandung tanpa lirih
cinta tetap kita bawa disini

dan aku percaya
tulang rusukku adalah kamu


mencumbu pelaminan

terpaut janji
dalam kenang rindu

sebuah kesetiaan:
mengalun indah dalam simfoni
beratasnamakan cinta

sebuah kepastian:
yang cair oleh senyuman
dan berakhir dengan pelangi

sayang, mari mencumbu pelaminan kita

10.12.08

deja vu

sekuntum imaji
goyahkan pikirku
:aku bukan aku?

sekelibat pikir
terekam jelas
(tak asing)

tergeserkah dimensi?
hingga kini serasa silam

sepertinya aku pernah melewati waktu ini

musnahnya janji sang mentari

janji hanyalah janji
hanya goresan kata pada imaji pikir


sepagi ini
mega geluti langit
dengan muramnya

alam yang bernaung
goreskan satu tanya:
dimana mentari?

ia hanya menjawab:
“untuk apa aku menyinari
jika tak ada yang menghargai”


(dan ia pun pergi)

gores waktu: titik jenuh

hanya rindu yang akan bertamu pada kenang

naïf memang
jika harus terhenti
pada satu masa

saat siasia mengharap jawab
yang terucap hanya satu pikir:
titik jenuh

lihat saja..
mentari telah ingkari janji bukan?
mungkin hatiku juga

gerbang waktu telah tertutup
jangan tunggu aku disana