7.6.09

tentang jiwa yang menjerit karenamu

pernah kau tulis sebuah sajak. tepat di sebalik nafasku yang labil. yang olehmu kau bawa aku memecah matahari. menyeka kesah di tiap bujurnya. tanpa tahu aku menahan perihnya.

pernah kau tulis sebuah sajak. yang dalam peng-aku-anmu, aku bukan aku. terhapus logika. hanya kering matamu yang coba berontak dari hatimu.

pernah kau tulis sebuah sajak. dalam remah luka.

dan aku-
-lelah

buram

ini hanya cerita tentang
a k u
lelaki malam di pembatas cakrawala

yang tak pernah tahu akan aurora
bahkan semburat senja
hanya obrolan yang terdengar di telingaku saja

dan kini mereka
menunjuk duapuluhempat warna pelangi
saat hujan baru saja berpaling


sedang padaku hanya
gradasi buram. hitam-abu-putih

atau aku yang telah
buta?

satu

di sini. di gubuk ini. kita pernah ada. bersama secangkir kopi dan sekotak kecil tiramisu. dengan titiktitik hujan yang serupa embun. menghanyutkan tawa kita. tanpa beban. tanpa lelah. tanpa bosan

tak henti ceritacerita indah coba kau hadirkan di matamu. dari catatancatatan kecil tentangmu, tentang kita, masa depan kita. hingga tak sadar kita larut dalam alunan senja

“aku akan selalu menjejakkan hatiku di hatimu” bisikmu. setidaknya itu sudah cukup bagiku

perlahan pelangi tunjukkan wajahnya. satu fase hujan telah kita lewati. rerumput yang kembali tersenyum. burungburung yang bersenandung. seakan menyambut mentari yang pelanpelan menyapa

hm..
teringat masa itu kembali. dulu. saat kita masih

satu