tentangku adalah
tentangmu juga
tapi tentangmu?
tak kutemukan aku
hanya sempat
menuliskan pesan di
pojok dinding kamar
ku yang mungkin tak
terbaca oleh
mu
15.12.09
tentang(mu)
dan tentangmu adalah
cerita
yang terbaik
juga tentang perasaan
ku
tapi tentangmu adalah
kenangan
cerita
yang terbaik
juga tentang perasaan
ku
tapi tentangmu adalah
kenangan
rindu yang mengerat
rindu semakin mengeratku
dalam
pada jarak kesekian dari
entah yang merengut seolah
tak ingin tunjukkan ia ada
dimana?
sedangkan aku masih saja
tenggelam di sini
sayang..
aku tak ingin rindu ini membusuk percuma
datanglah..
dalam
pada jarak kesekian dari
entah yang merengut seolah
tak ingin tunjukkan ia ada
dimana?
sedangkan aku masih saja
tenggelam di sini
sayang..
aku tak ingin rindu ini membusuk percuma
datanglah..
8.11.09
pesan #5
telah banyak pesan aku
titipkan pada lembarlembar kertas
usang yang mungkin telah
menjadi tak berharga
juga banyak lelah yang
aku lukis pada barisan awan
hitam yang melekat di pundak
mu
tapi tak sedikitpun pesan itu
kembali padaku disini
atau mungkin ia telah
menjelma menjadi
dirimu?
(awal november 2009)
titipkan pada lembarlembar kertas
usang yang mungkin telah
menjadi tak berharga
juga banyak lelah yang
aku lukis pada barisan awan
hitam yang melekat di pundak
mu
tapi tak sedikitpun pesan itu
kembali padaku disini
atau mungkin ia telah
menjelma menjadi
dirimu?
(awal november 2009)
27.10.09
9.10.09
pesan #3
awal oktober
aku menggores penaku dalam
keremangan. jenuh
entah untuk mencuri waktu atau
hanya mengecup sepi yang lelah aku
kejar.
tapi jarak begitu angkuh
mengurungku dalam resah. tanpa alur.
dan rindu telah menghitamkan nadiku
disini. seperti ucapmu.
aku akan tetap bernafas hingga
saat kita terhenyak
nanti.
aku menggores penaku dalam
keremangan. jenuh
entah untuk mencuri waktu atau
hanya mengecup sepi yang lelah aku
kejar.
tapi jarak begitu angkuh
mengurungku dalam resah. tanpa alur.
dan rindu telah menghitamkan nadiku
disini. seperti ucapmu.
aku akan tetap bernafas hingga
saat kita terhenyak
nanti.
24.9.09
pesan #2
aku menggenggam catatan kecil tentang
pesan yang tak lagi terbaca di tanganku
yang padaku telah terhapus semua
cerita tentang aku yang dulu
karena sejauh ini aku hanya mampu
bergumam pada detak nadiku sendiri
lalu..
apa aku tak berhak untuk
memecah takdir di sisa perjalanan
ku?
pesan yang tak lagi terbaca di tanganku
yang padaku telah terhapus semua
cerita tentang aku yang dulu
karena sejauh ini aku hanya mampu
bergumam pada detak nadiku sendiri
lalu..
apa aku tak berhak untuk
memecah takdir di sisa perjalanan
ku?
pesan
di tiap renyah heningku
tak henti aku menjejak nafas dalam
nadimu
tak henti aku menjejak nafas dalam
nadimu
limbung
tawa renyah itu perlahan pudar
di bibir
mu
dan entah apa itu sebuah pertanda
untuk
ku?
di bibir
mu
dan entah apa itu sebuah pertanda
untuk
ku?
10.7.09
tonet: tiga
aku hanya meminta sedikit titik lentera.
pada masa yang masih terbawa pengap
antara hujan. dan barisan rapi luka yang semula
perih. dulu. maka katamu itu sudah lengkap.
mungkin masih bisa ku baca catatan kelam
tentang ajakan hati yang tak lagi menjerat.
memisah jarak akan entah. dan menanti hingga malam
tertidur lelap. semua telah kujaga di sini. erat.
sudahlah. tak usah kau merasa lebih puas.
aku telah merelakan nafasmu yang tak menjelma
seperti pelangi lagi. dan memang telah jelas
apa inginku. hanya ingin berdiri di pinggiran senja.
tiga kata yang awalnya memang sempat
tak terucap telah terkunci di mataku. rapat.
pada masa yang masih terbawa pengap
antara hujan. dan barisan rapi luka yang semula
perih. dulu. maka katamu itu sudah lengkap.
mungkin masih bisa ku baca catatan kelam
tentang ajakan hati yang tak lagi menjerat.
memisah jarak akan entah. dan menanti hingga malam
tertidur lelap. semua telah kujaga di sini. erat.
sudahlah. tak usah kau merasa lebih puas.
aku telah merelakan nafasmu yang tak menjelma
seperti pelangi lagi. dan memang telah jelas
apa inginku. hanya ingin berdiri di pinggiran senja.
tiga kata yang awalnya memang sempat
tak terucap telah terkunci di mataku. rapat.
22.6.09
(bukan) pangeranmu
aku akan datang. di salahsatu malammu
bukan dengan kuda putih. layaknya pangeranpangeran dalam negeri dongengmu. hanya kuda biasa. yang salah satu kakinya terluka; seperti hatiku. mungkin
aku akan datang. di salahsatu malammu. di bawah langit. pada gumpalan awan penat yang bergelimpangan di tiap tatapku. tunggu saja
akan kukembalikan semua luka. serpihan perih. serta pecahanpecahan nafas yang pernah kau titipkan padaku. tepat. di salahsatu malammu
nanti
bukan dengan kuda putih. layaknya pangeranpangeran dalam negeri dongengmu. hanya kuda biasa. yang salah satu kakinya terluka; seperti hatiku. mungkin
aku akan datang. di salahsatu malammu. di bawah langit. pada gumpalan awan penat yang bergelimpangan di tiap tatapku. tunggu saja
akan kukembalikan semua luka. serpihan perih. serta pecahanpecahan nafas yang pernah kau titipkan padaku. tepat. di salahsatu malammu
nanti
dua rerupa
mungkin dalam jarak kesekian entah, letakmu akan berubah. wujud, bahkan letak nafasmupun beda. pada kesah. dalam lelah. tentang kisah?
bahkan untuk mengerti jejakmu, hatiku yang harus bermain dengan jenuh. kadang terang. kadang gelap. dan aku tersesat dalam itu. takkah kau tahu?
atau kadang tak lagi aku bisa mengartikan senyum yang kau titipkan di bibirku. renyah. namun tanpa rasa. dan kau?
hening
kau bukan kau. tapi itu kau. dan kau tak ada dalammu. sedang kau adalah kau
mungkin dalam rerupa kisahmu, aku hanya pangeran kodok. bermata besar. berkaki lebar. berotak dungu. yang harus mengikuti kemauanmu
lagilagi aku terdiam
bahkan untuk mengerti jejakmu, hatiku yang harus bermain dengan jenuh. kadang terang. kadang gelap. dan aku tersesat dalam itu. takkah kau tahu?
atau kadang tak lagi aku bisa mengartikan senyum yang kau titipkan di bibirku. renyah. namun tanpa rasa. dan kau?
hening
kau bukan kau. tapi itu kau. dan kau tak ada dalammu. sedang kau adalah kau
mungkin dalam rerupa kisahmu, aku hanya pangeran kodok. bermata besar. berkaki lebar. berotak dungu. yang harus mengikuti kemauanmu
lagilagi aku terdiam
7.6.09
tentang jiwa yang menjerit karenamu
pernah kau tulis sebuah sajak. tepat di sebalik nafasku yang labil. yang olehmu kau bawa aku memecah matahari. menyeka kesah di tiap bujurnya. tanpa tahu aku menahan perihnya.
pernah kau tulis sebuah sajak. yang dalam peng-aku-anmu, aku bukan aku. terhapus logika. hanya kering matamu yang coba berontak dari hatimu.
pernah kau tulis sebuah sajak. dalam remah luka.
dan aku-
-lelah
pernah kau tulis sebuah sajak. yang dalam peng-aku-anmu, aku bukan aku. terhapus logika. hanya kering matamu yang coba berontak dari hatimu.
pernah kau tulis sebuah sajak. dalam remah luka.
dan aku-
-lelah
buram
ini hanya cerita tentang
a k u
lelaki malam di pembatas cakrawala
yang tak pernah tahu akan aurora
bahkan semburat senja
hanya obrolan yang terdengar di telingaku saja
dan kini mereka
menunjuk duapuluhempat warna pelangi
saat hujan baru saja berpaling
sedang padaku hanya
gradasi buram. hitam-abu-putih
atau aku yang telah
buta?
a k u
lelaki malam di pembatas cakrawala
yang tak pernah tahu akan aurora
bahkan semburat senja
hanya obrolan yang terdengar di telingaku saja
dan kini mereka
menunjuk duapuluhempat warna pelangi
saat hujan baru saja berpaling
sedang padaku hanya
gradasi buram. hitam-abu-putih
atau aku yang telah
buta?
satu
di sini. di gubuk ini. kita pernah ada. bersama secangkir kopi dan sekotak kecil tiramisu. dengan titiktitik hujan yang serupa embun. menghanyutkan tawa kita. tanpa beban. tanpa lelah. tanpa bosan
tak henti ceritacerita indah coba kau hadirkan di matamu. dari catatancatatan kecil tentangmu, tentang kita, masa depan kita. hingga tak sadar kita larut dalam alunan senja
“aku akan selalu menjejakkan hatiku di hatimu” bisikmu. setidaknya itu sudah cukup bagiku
perlahan pelangi tunjukkan wajahnya. satu fase hujan telah kita lewati. rerumput yang kembali tersenyum. burungburung yang bersenandung. seakan menyambut mentari yang pelanpelan menyapa
hm..
teringat masa itu kembali. dulu. saat kita masih
satu
tak henti ceritacerita indah coba kau hadirkan di matamu. dari catatancatatan kecil tentangmu, tentang kita, masa depan kita. hingga tak sadar kita larut dalam alunan senja
“aku akan selalu menjejakkan hatiku di hatimu” bisikmu. setidaknya itu sudah cukup bagiku
perlahan pelangi tunjukkan wajahnya. satu fase hujan telah kita lewati. rerumput yang kembali tersenyum. burungburung yang bersenandung. seakan menyambut mentari yang pelanpelan menyapa
hm..
teringat masa itu kembali. dulu. saat kita masih
satu
24.5.09
duapuluhempat
sekiranya warna pelangi masih sama. pekat. masih seperti saat aku mengenalmu.
dulu
dengan pecahanpecahan awan yang mengintip di sebaliknya
bukankah pernah kau janjikan gradasi yang lebih indah? agar bisa kita saingi aurora yang berpendar di ujung kutub sana. yang masih tersenyum sinis. pada langit kita
“itu dulu” katamu
jika lelahku menjadi semakin. haruskah kuletakkan begitu saja di sini? tepat di langkah ke duapuluhempat. karena katamu kini mimpi kita tak bisa sama
dulu
dengan pecahanpecahan awan yang mengintip di sebaliknya
bukankah pernah kau janjikan gradasi yang lebih indah? agar bisa kita saingi aurora yang berpendar di ujung kutub sana. yang masih tersenyum sinis. pada langit kita
“itu dulu” katamu
jika lelahku menjadi semakin. haruskah kuletakkan begitu saja di sini? tepat di langkah ke duapuluhempat. karena katamu kini mimpi kita tak bisa sama
kosong
/1/
entah untuk kali keberapa, aku membaca deret kata di dahimu. puluhan. ratusan. bahkan ribuan frase telah terucap dari matamu. dan tak letih bibirmu mengumbar cerita warnawarni.
bagiku itu kosong.
/2/
bahkan harga doktrinmu, tak ternilai (setidaknya itu katamu). yang pernah kau titipkan pada selembar kertas buram; saat senja baru saja tersenyum untuk terakhir kalinya.
bagiku tetap kosong.
/3/
di penghujung nafasmu, hingga wujudmu kini yang berbalut kasa tipis; aku masih menyimpan elegi yang kau titipkan dulu. dan aku masih bisa membaca; betapa labilnya nafasmu saat itu.
masihkah kosong?
ah...
andai aku bisa membalikkan waktu
entah untuk kali keberapa, aku membaca deret kata di dahimu. puluhan. ratusan. bahkan ribuan frase telah terucap dari matamu. dan tak letih bibirmu mengumbar cerita warnawarni.
bagiku itu kosong.
/2/
bahkan harga doktrinmu, tak ternilai (setidaknya itu katamu). yang pernah kau titipkan pada selembar kertas buram; saat senja baru saja tersenyum untuk terakhir kalinya.
bagiku tetap kosong.
/3/
di penghujung nafasmu, hingga wujudmu kini yang berbalut kasa tipis; aku masih menyimpan elegi yang kau titipkan dulu. dan aku masih bisa membaca; betapa labilnya nafasmu saat itu.
masihkah kosong?
ah...
andai aku bisa membalikkan waktu
10.5.09
lepas
di kelopak matamu kutemukan
-hitam
menggenang pada bejana yang kau cipta
embun yang kutafsir dulu hanya pecahan ilusi yang muncul pada remah mimpi kita
tertahan sejenak-
:lepaskan saja
-hitam
menggenang pada bejana yang kau cipta
embun yang kutafsir dulu hanya pecahan ilusi yang muncul pada remah mimpi kita
tertahan sejenak-
:lepaskan saja
pecah
masih ingatkah kau saat telingaku menderit. menjelma cemas yang tertahan di sudut kepala. saat katakata berubah seolah pisau yang menikam. hingga lidahmu meradang
masih ingatkah kau saat tanganku melepuh. dengan jemari yang tak mampu menggenggam bejana; yang sebelumnya kau tuang angkuhmu tanpa peduli lelah yang aku bawa
masih ingatkah kau saat mataku menjerit. menahan hujaman cerca. tak henti matamu bergelayut sinis pada mataku
masihkah?
ah…
yang kini tak kau tahu
mataku terjatuh bersama
butiranbutiran penat yang
kemudian pecah
masih ingatkah kau saat tanganku melepuh. dengan jemari yang tak mampu menggenggam bejana; yang sebelumnya kau tuang angkuhmu tanpa peduli lelah yang aku bawa
masih ingatkah kau saat mataku menjerit. menahan hujaman cerca. tak henti matamu bergelayut sinis pada mataku
masihkah?
ah…
yang kini tak kau tahu
mataku terjatuh bersama
butiranbutiran penat yang
kemudian pecah
3 stanza: sajak perawan senja
/I/
mari diamdiam mendengarkannya. reranting yang jatuh pada tanah. yang pada malam sebelumnya; ia menangis. menyimpan lenguh rindu pada embun. dan terpejam di heningnya purnama
/II/
ia;
yang menjelma sajak perawan. mengeja kata menentang rasa. menakar rerintik bebait dalam hening. pelanpelan merangkai setiap gerak nalar. memanggilmanggil masa depan dalam beribu kerinduan
ia;
merebus detakdetak kenangan. menyulam dahaga sewaktu senja. selalu bersenandung di remang cuaca. tentang beda. tentang cinta. juga lelembut bahasa yang menarinari di detak rima
/III/
ia;
tak seruparupa kekal senyawa. memikul waktu mengiris sentuh. mengakar rapuh di lapis subur. memilah pundipundi duniawi pembeban tubuh. melepas mimpi selaras hitam putih karma
ia;
hanya serupa malaikat dalam terik bulan. pencerah redup di tengah maya. menyulam nadi mengecup retak. dengan nafas; sebelum gelap tiba kembali
adalah ia;
perawan senja penyulap masa
(mari diamdiam mendengarkannya. reranting yang jatuh pada tanah)
mari diamdiam mendengarkannya. reranting yang jatuh pada tanah. yang pada malam sebelumnya; ia menangis. menyimpan lenguh rindu pada embun. dan terpejam di heningnya purnama
/II/
ia;
yang menjelma sajak perawan. mengeja kata menentang rasa. menakar rerintik bebait dalam hening. pelanpelan merangkai setiap gerak nalar. memanggilmanggil masa depan dalam beribu kerinduan
ia;
merebus detakdetak kenangan. menyulam dahaga sewaktu senja. selalu bersenandung di remang cuaca. tentang beda. tentang cinta. juga lelembut bahasa yang menarinari di detak rima
/III/
ia;
tak seruparupa kekal senyawa. memikul waktu mengiris sentuh. mengakar rapuh di lapis subur. memilah pundipundi duniawi pembeban tubuh. melepas mimpi selaras hitam putih karma
ia;
hanya serupa malaikat dalam terik bulan. pencerah redup di tengah maya. menyulam nadi mengecup retak. dengan nafas; sebelum gelap tiba kembali
adalah ia;
perawan senja penyulap masa
(mari diamdiam mendengarkannya. reranting yang jatuh pada tanah)
perlahan
dekap aku
lumerkan perih yang menggenangi tiap ruasruas hati
agar detakmu bisa kurasa
:perlahan
lumerkan perih yang menggenangi tiap ruasruas hati
agar detakmu bisa kurasa
:perlahan
8.3.09
pada langitmu
/I/
langit berubah jelaga
pendarnya merengut pada ujung ilalang
atau ia hanya bungkam
membisu dari diamnya
/II/
matamu berbisik tajam
entah dengan lidah yang gelisah
atau nafsu tanpa nyali
yang kau sembunyikan di balik takutmu?
/III/
pada jenuh aku bersumpah
mataku tak akan lekang pada langitmu
langit berubah jelaga
pendarnya merengut pada ujung ilalang
atau ia hanya bungkam
membisu dari diamnya
/II/
matamu berbisik tajam
entah dengan lidah yang gelisah
atau nafsu tanpa nyali
yang kau sembunyikan di balik takutmu?
/III/
pada jenuh aku bersumpah
mataku tak akan lekang pada langitmu
muak
mata itu..
hanya muslihat
hanya menjilat pada saat dan waktu yang tak tepat
sedang tak kau tahu
aku
:muak
hanya muslihat
hanya menjilat pada saat dan waktu yang tak tepat
sedang tak kau tahu
aku
:muak
23.2.09
dalam rinduku
:hari ini
ingin kutulis berlembarlembar rindu untukmu
pada buramnya langit yang tertutup awan mendung
dan dalam gerimis yang menghantarkan cercau burung pada senyap
atau dalam genangan hujan malam tadi
ingin kusulam sebuah rindu untukmu
pada rantingranting yang masih menitikkan tarian embun
tepat di ujung ilalang yang merunduk malu
atau di sesisa pelangi penghujan malam tadi
ingin kutanam sebuah rindu untukmu
pada rapuhnya langkahku saat ini
pada sudut matamu yang tergambar jelas di tiap celah hati
bahwa aku
benarbenar merindukanmu saat ini..
apa dirimu merasakan yang sama?
aku harap..
ingin kutulis berlembarlembar rindu untukmu
pada buramnya langit yang tertutup awan mendung
dan dalam gerimis yang menghantarkan cercau burung pada senyap
atau dalam genangan hujan malam tadi
ingin kusulam sebuah rindu untukmu
pada rantingranting yang masih menitikkan tarian embun
tepat di ujung ilalang yang merunduk malu
atau di sesisa pelangi penghujan malam tadi
ingin kutanam sebuah rindu untukmu
pada rapuhnya langkahku saat ini
pada sudut matamu yang tergambar jelas di tiap celah hati
bahwa aku
benarbenar merindukanmu saat ini..
apa dirimu merasakan yang sama?
aku harap..
hening
aku lelah
pada masa yg memerah
menjamah sekian waktu
tapi tetap kaku
sisi lemahku terumbar
tak pantas untuk
menyeka tiaptiap lembar
yang bosan selalu mengetuk
terpecah imaji
pergi!
pergi!
pergi!
pergi!
pergi!
PERGI!!!
...kawan
tak sadarkah
aku hanya ingin
:hening
pada masa yg memerah
menjamah sekian waktu
tapi tetap kaku
sisi lemahku terumbar
tak pantas untuk
menyeka tiaptiap lembar
yang bosan selalu mengetuk
terpecah imaji
pergi!
pergi!
pergi!
pergi!
pergi!
PERGI!!!
...kawan
tak sadarkah
aku hanya ingin
:hening
tentang semalam
ini mataku..
lelah mengakar airmata
dan ini tanganku
tak lepas dari matamu
menangkup untuk menjerang tangismu
apa salah?
merobek rahim ibu
tatap sedikit kebenaran
pada realita yang mungkin buram
tak ada yang salah
pun tanpa sebelah kakimu yang tergelincir
matamu tetap tegar
tapi mereka..
menatap nyinyir pada retak resahku
mencibir tiap lekuk lukaku
seolah aku tak punya rupa
(yang bahkan lebih hina dari kotoran mereka)
sebegitu rendahkah kau menilai dirimu?
letak lakumu tak pernah seperti itu
- setidaknya di mataku
ah..
kau tak mengerti kawan
sekelumit hatiku berupa debu
takkah kau sadar dulu..
pernah kau titipkan sisa harumu
pada trotoar yang membisu
padahal tak kau tahu
aku di belakangmu
berharap coba kau titipkan selembar pedih di pundakku
bersama cemas yang semakin menua di ujung waktu
(dan akupun punya banyak waktu untuk itu)
sudahlah..
mari kita duduk
dan akan kusuguhkan kopi hitam kesukaanmu
bersama ceritacerita yang masih tertahan
(karena aku punya banyak waktu untuk itu)
tercatat terpisah pada ujung cemas
lelah mengakar airmata
dan ini tanganku
tak lepas dari matamu
menangkup untuk menjerang tangismu
apa salah?
merobek rahim ibu
tatap sedikit kebenaran
pada realita yang mungkin buram
tak ada yang salah
pun tanpa sebelah kakimu yang tergelincir
matamu tetap tegar
tapi mereka..
menatap nyinyir pada retak resahku
mencibir tiap lekuk lukaku
seolah aku tak punya rupa
(yang bahkan lebih hina dari kotoran mereka)
sebegitu rendahkah kau menilai dirimu?
letak lakumu tak pernah seperti itu
- setidaknya di mataku
ah..
kau tak mengerti kawan
sekelumit hatiku berupa debu
takkah kau sadar dulu..
pernah kau titipkan sisa harumu
pada trotoar yang membisu
padahal tak kau tahu
aku di belakangmu
berharap coba kau titipkan selembar pedih di pundakku
bersama cemas yang semakin menua di ujung waktu
(dan akupun punya banyak waktu untuk itu)
sudahlah..
mari kita duduk
dan akan kusuguhkan kopi hitam kesukaanmu
bersama ceritacerita yang masih tertahan
(karena aku punya banyak waktu untuk itu)
tercatat terpisah pada ujung cemas
31.1.09
nyanyian hujan
harusnya aku mengerti
dan kutemui malam. sewaktu senja menghilang perlahan dari balik akalku. memutar langkah pikir tanpa ujung. bergerak. namun diam. menebak letak arah terjauh imajiku
“tak letihkah...?” pikirku
tapi beberapa dari itu masih bernyanyi. tak henti mengalunkan cerita yang terbawa dari langit. tanpa cerca. hingga terhenti pada ranting, ilalang, bahkan bebatuan. mereka masih tetap bernyanyi
tak mampu kubuang arah jejak mataku. nyaman. hening. namun nyanyian itu menggema jauh dalam ruang jiwaku
.
.
.
.
ah...
masih sama
pikiranku terjatuh dalam bimbang
andai titik hujan itu aku
sudah kulepas pandangku kesana
lalu mencoba menepi pada ujung dahan yang bergoyang
kemudian lanjutkan nyanyianku
dan harusnya aku mengerti
(saat aku sadar
tetesan embun telah menghilang dari balik jendela kamarku)
dan kutemui malam. sewaktu senja menghilang perlahan dari balik akalku. memutar langkah pikir tanpa ujung. bergerak. namun diam. menebak letak arah terjauh imajiku
“tak letihkah...?” pikirku
tapi beberapa dari itu masih bernyanyi. tak henti mengalunkan cerita yang terbawa dari langit. tanpa cerca. hingga terhenti pada ranting, ilalang, bahkan bebatuan. mereka masih tetap bernyanyi
tak mampu kubuang arah jejak mataku. nyaman. hening. namun nyanyian itu menggema jauh dalam ruang jiwaku
.
.
.
.
ah...
masih sama
pikiranku terjatuh dalam bimbang
andai titik hujan itu aku
sudah kulepas pandangku kesana
lalu mencoba menepi pada ujung dahan yang bergoyang
kemudian lanjutkan nyanyianku
dan harusnya aku mengerti
(saat aku sadar
tetesan embun telah menghilang dari balik jendela kamarku)
24.1.09
waktu
kau bungkus waktuku dengan renta pijakmu
pada batas akhir titik cahaya
hingga semua kau benamkan dalam patahnya pelukmu
pada batas akhir titik cahaya
hingga semua kau benamkan dalam patahnya pelukmu
jejak
aku temukan seutas senyum terjebak pada sudut bibirmu
yang terpeluk ucap kelu
kala aku menjejak nafas di ujung matamu
yang terpeluk ucap kelu
kala aku menjejak nafas di ujung matamu
10.1.09
patahan hujan
pada rentang kesekian
tanahmu akan kubasuh penuh
dengan peluh yang menjelma hujan
agar kau tahu
dalam tiap pecahan tangis yang terurai
masih ada aku
yang berdiri diatas pejammu
tanahmu akan kubasuh penuh
dengan peluh yang menjelma hujan
agar kau tahu
dalam tiap pecahan tangis yang terurai
masih ada aku
yang berdiri diatas pejammu
tertunduk
sang kirana masih ranum tersenyum
saat gelegak malam penuh mimpi
mengintip di remangremang kota
tapi aku hanya
bersandar pada ranting rapuh di ujung bukit
mengurai nafas pada dekap retak bulan
jejali tipisnya hati yang pernah terkikis
karena mimpi penuh luka
telah aku tanam di bawah mentari tadi senja
saat gelegak malam penuh mimpi
mengintip di remangremang kota
tapi aku hanya
bersandar pada ranting rapuh di ujung bukit
mengurai nafas pada dekap retak bulan
jejali tipisnya hati yang pernah terkikis
karena mimpi penuh luka
telah aku tanam di bawah mentari tadi senja
adalah cinta
pernah aku titipkan seutas peluh pada
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa
dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari
aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita
dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya
maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa
dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari
aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita
dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya
maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang
Subscribe to:
Posts (Atom)